Tingkatan Tertinggi Ibadah (Konsep Ihsan)
Disampaikan oleh
Prof. Miftahudin Miftah-khotib Masjid Daarut Tauhid
Suatu ketika Rasul berdialog dengan seorang yang mengenakan
pakaian putih. Umar melihat bahwa orang itu banyak tahu tentang agama dan
beliau sangat terkesan dengan orang itu. Lalu Umar bertanya, “Siapa laki-laki
yang berpakaian putih itu? Wajahnya putih bersih dan terkesan sangat akrab
dengan anda dan kiranya dia serba tahu tentang agama? Rasul menjawab, “ Ia
Jibril. Ia yang mengajarkan segala sesuatu pada kalian.” Umar dan para sahabat
tidak bisa melihat lagi orang itu.
Sejak peristiwa diatas, darisanalah mulai kita mengenal
konsep iman, islam dan ihsan.
Didalam ayat Al-Qur’an hampir tidak ada ayat yang menerangkan
secara utuh rukun iman. Iman pada Allah dan hari akhir atau Iman pada Allah dan
rasul atau hanya sampai pada Qada dan Qadar.
Kemudian rukun islam yang lima di jelaskan dalam percakapan
antara rasul dengan Jibril tersebut.
Selanjutnya ada yang disebut dengan Ihsan. Derajat ihsan
merupakan tingkatan paling tinggi yang hanya bisa di raih oleh seorang yang telah
mempunyai iman dan islam dalam hatinya secara mantap. Lalu apakah yang disebut
dengan ihsan? Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat Allah dan kalau engkau
tidak mampu merasakan engkau melihat Allah paling tidak engkau yakin bahwa Allah
akan selalu melihat engkau.
Yang pertama adalah, dimana dan kapanpun engkau harus merasa
melihat Allah.
Beribadah serasa melihat Allah mungkin sesuatu yang susah
tapi sebagai mukmin kita harus berusaha untuk mencapai kualitas seperti itu. Ibadah
yang kita lakukan jangan sampai menggugurkan kewajiban apalagi karena terpaksa
karena takut dosa. Tetapi bagaim ana agar ibadah itu menjadi sarana refleksi,
penyegaran sehingga ibadah dapat berfungsi sebagai syifaa pengobatan spiritual
yang dapat menghilangkan penyakit hati diantaranya; kesombongan, buruk sangka,
gila pujian, stress, galau dan berbagai problematika kehidupan. Berusalah agar
ibadah itu menjadi Riyadoh, pembangun karakter. Begitulah islam menggambarkan
tujuan ibadah yang sesungguhnya.
Agak sulit rupanya bagaiman kita telah menggambarkan
bagaimana suasana batin tatkala kita mendapatkan kepuasan spiritual.
Seorang sufi wanita memperkenalkan suatu konsep robbiyih
alawiyah, tetapi para ilmuan dan cendikiawan muslim banyak memberikan kritik
terhadap pandangan-pandangan beliau. Tetapi tidak ada salahnya juga mengetahui
konsep tersebut dalam rangka ikhtiar guna menjelaskan bagaimana ibadah yang
benar-benar merasa melihat Allah.
Robbiyah Alawiyah terkenal dengan konsep cinta,
berusaha menyampaikan rasa cinta kepada Allah.
Seseorang putra mahkota yang akan meminang seorang gadis. Tetapi gadis itu
menolak. Saya tidak siap menerima pinangan baginda karena cinta saya sudah
habis untuk Allah. Disinilaah sufi wanita itu banyak dikritik oleh para ulama. Lalu
beliau menjelaskan lagi, Tuhan seandainya saya menyembahmu itu karena
mengharapkan surgaMu , haramkan bagi diri saya surga itu karena berarti saya
mengharapkan selain Engkau tapi mengharapkan makhlukmu yang bernama surga. Tuhan
seandainya saya menyembahmu itu karena takut masuk nerakaMu, neraka itu milikMu
dan saya juga milikMu ada wewenang apa saya menolak, engkau yang menentukan
saya masuk neraka atau tidak. Saya menyembahMu karena saya rindu dan cinta
kepadaMu.
Aplikasi dari paparan diatas ialah dalam pemaknaan Laa ilaha
illa Allah tidak hanya dimaknai dengan tidak ada Tuhan yang patut disempah
kecuali Allah tetapi harus dilanjutkan
dengan tidak ada yang patut dicintai kecuali Allah. Artinya, kadar cinta kita
kepada selain Allah harus dibawah dibanding kadar cinta kepada Allah. Cinta kepada
istri, anak, keluarga semuanya harus diposisikan setelah cinta kita kepada Allah.
Sahabat kita yang telah diundang ke baitullah, kenikmatan
spiritual sangat dirasakan ketika melaksanakan tawaf pamitan yang disebut tawaf
wada. Tawaf wada dilakukan apabila selesai melaksanakan ibadah haji atau umrah
diperintahkan untuk melaksanakan tawaf wada sehingga apabila hal itu telah
dilakukan kita tidak boleh bermalam dan kembali lagi ke mekkah. Selesai melaksanakan
tawaf tujuh kali putaran mengelilingi kabah biasanya berdiri sebelah kanan
pintu ka’bah. Ketika mengungkapkan rasa syukur, seseorang yang bertawaf wada, “Ya
Allah kembalikan aku kesini. Disinilah mereka menemukan kekuatan spiritual,
merasa melihat Allah.
Tingkatan ibadah seperti itulah yang diharapkan. Tentulah kualitas ibadah itu dapat diperoleh
melalui kebiasaan. Kebiasaan yang tidak terlepas dari faktor yang mendukungnya
yaitu situasi batin dan situasi lingkungan. Agama mengajarkan jika kita bisa
mencapai tingkatan ibadah ihsan maka itulah puncak dari kenikmatan ibadah.
Yang kedua adalah, dimana dan kapanpun engkau harus yakin
bahwa Allah selalu melihat kamu.
Dalam ilmu tasawuf dikembangkan konsep Malu (al-hayaa). Seorang
sahabat berkata, Rasul mengatakan beberapa kali, ini adalah pesan-pesan moral
yang disampaikan kepada umatnya yaitu rasa malu. Rasul menyampaikan, kalau
kalian sudah tidak punya rasa malu, berbuatlah terserah kalian. Dari rasa malu
inilah yang dapat membuahkan kejujuran.
Seseorang yang disebut Abu Naawiyah yang berasal dari tempat
jauh datang kepada Rasul untuk bertanya. “Di dalam Islam itu amalan apa yang
paling mudah dilakukan?” Rasul menjawab,” Amal yang paling mudah dilakukan bagi
orang islam yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat.” “Ya rasulullah kalau yang
paling sulitnya amalan apa?” “Wahai Abu Naawiyah yang paling sulit adalah hidup
jujur.”
Jujur itu memang sulit. Rasul memberi penjelasan, tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Kejujuran
dan keimanan adalah satu kesatuan. Tidak mungkin seseorang yang beriman tapi
tidak jujur atau seseorang yang taqwa tidak jujur. Itulah yang selalu
ditekankan oleh Rasul sehingga lahirlah kisah-kisah klasik yang menggambarkan rasa
malu membuahkan kejujuran seperti yang disampaikan oleh Al-ghazali.
Umar bin khattab seorang pemimpin yang senang berkumpul
dengan orang-orang miskin. Suatu hari, beliau meninggalkan pusat pemerintahan
dan pergi ke daerah yang jauh. Beliau bertemu dengan seorang penggembala
kambing.
“Apa kerjamu?”
“menggembalakan kambing”
“berapa ekor kambing yang kau gembalakan?”
‘Apa tanggung jawab kamu?”
“Semua kambing yang ada dilembah ini adalah tanggung jawab
saya”
“Saya mau membeli satu ekor. Berapa harganya?”
“oh tuan, kalau tuan ingin membeli kambing ini silakan tuan
datang ke majikan saya. Saya tidak ada hak menjual kambing saya hanya
berkewajiban menggembalakannya. Ini alamatnya”
“kalau kambing ini dibawa kemajikanmu pada saat musim panas nanti, apakah ada kambing-kambing
ini yang mati?
“oh banyak tuan’
“Kalau begitu, beri tahu saja majikanmu kambing yang aku
beli itu mati dan majikanmu pasti percaya.’
“iya tuan pasti percaya”
Umar mengeluarkan uang dalam sebuah kantong ditaruhlah
ditangan pengembara itu. Pengembara yang miskin, bodoh dan tidak tahu
perkembangan bahwa yang diajak bicaranya itu Amirul Mukminin. Begitu uang itu
digenggamkan oleh Umar kepada penggembala, seketika penggembala itu menepuk
pundak Umar.
“Malu kepada Allah! Malulah kepada Allah!”
Umar melakukan sujud syukurnya bukan menyatakan saya bahagia
rakyat saya walaupun bodoh miskin tapi jujur. Tetapi Umar bertanya, masih
adakah umat-umatMu jujur pada akhir zaman seperti halnya penggembala kambing yang
miskin dan bodoh tadi.?
Pertanyaan tersebut yang dibiarkan oleh Al-Ghazali. Kuncinya
adalah diri kita untuk menjawabnya. Jika ketidakjujuran sudah menjadi barang
yang biasa, kejujuran sudah menjadi barang langka, orang yang tidak jujur
dianggap biasa maka pada suatu Allah akan mencabut keberkahan yang ada di muka
bumi ini diangkat ke langit. Jika Lautan ada hanya jadi musibah, hutan-hutan tidak
memberikan manfaat, sinar matahari menebarkan penyakit. Kuncinya hidup untuk
mendapat keberkahan adalah kejujuran yang merupakan buah dari malu hasil beribadah
dengan ihsan
Jadi, Ihsan adalah dimana pun kita harus yakin ada Allah selalu
memerhatikan kita. Sehingga kejujuran pun akan menyertai kita. jika terbesit di
dalam hati akan melakukan maksiat maka hati akan segera berkata, “saya diberi
nikmat oleh Allah dan diberikan segalanya oleh Allah, apakah saya harus
demonstratif melakukan perbuatan yang dibenci Allah, sungguh terlalu sadis saya
melakukan perbuatan dihadapan Allah”. Kira-kira suasana batin seperti itulah
yang harus ditumbuhkan dalam diri kita. Malu berbuat maksiat, Malu kepada Allah
SWT.
Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing dan memimpin kita
untuk memperbaiki kualitas iman, islam dan ihsan. Aamiin Ya Robbal Alamin...
-Asep Ridwan Lubis-
2 komentar:
Semua ini dapat memberikan kita didikan yang tentu sangat baik untuk tingkah laku sebagai makluk cipta Allah , Apalagi dewasa ini tingkatan budi pekerti maupun tingkah laku kita sudah semakin ke arah yang tidak baik dan cenderung brutal.
Semoga saja kita selalu berada dalam bimbingan Allah SWT untuk tidak keluar dari jalur-jalur islami agar tidak terpelosok ke arah yang lebih dalam lagi, Salam sukses selalu
aamiin
sepertinya saya harus banyak belajar lagi mengenai arti kehidupan, yang tidak lain Allah itu menciptakan kita hanya untuk beribadah kepadaNYA dan ini telah menjadi sunatullahnya
SUKSES JUGA MAS
Terimakasih telah berkunjung :)
Posting Komentar